Bunda
suara siapa yang mampu meledakkan debar ?
bertanya pada ragu, digugu, dan ditiru
ibu, ibu, dengar selubung keingintahuanku
aku bagai merpati tanpa kepak bergetar
tawa siapa yang menggugah kehangatan,?
menjelma pada rasa , diraih dan dipuja
ibu, ibu. lihat gaya penampilan kelincahanku
aku bagai kepak kupu tanpa sayap
bolehkah aku bersandar di kukuh bahumu, ibu ?
dan ku seru bukan hanya sekedar guru
karena kepak sayapku meniru bahasamu
dan ku seru maukah kau menjadi
bundaku ?
Narasi Buat Seorang Ibu
katakanlah ibu !!
tanpa sedikit ragu !!
walau serdadu jahitan dibibirmu !!
memagar derita seribu !!
Bundaku
bundaku, tak inginku menutup hatiku,
tak inginkan tersembunyi sesuatu apapun
pedih hati jauh darimu
apa daya, tak kau mengerti jua
bundaku, dengarlah jerit tangisku
resapi desah nafasku
buang jauh isak tangisku
apa daya, tak kau rasa jua
bundaku, sinariku cahayamu
rengkuh aku dengan peluk hangatmu
tatap aku dengan bias rona matamu
apa daya, kini kau telah tiada
DOSEN FIK UNPAD
Transedental berasal dari kata transenden,yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti di luar segala kesanggupan manusia;luar biasa;utama.
sedangkan Faham transedental ialah faham atau pengertian – pengertian yang merupakan syarat suatu fakta kesadaran moral manusia.
dan transendental yang akan kita bahas dalam makalah ini ialah agama sebagai penunjuk ideologi,aturan,norma,dan sekaligus tatanan yang menunjukan bagaimana manusia sebagai hamba melakukan interaksi transedental.
sedangkan Faham transedental ialah faham atau pengertian – pengertian yang merupakan syarat suatu fakta kesadaran moral manusia.
dan transendental yang akan kita bahas dalam makalah ini ialah agama sebagai penunjuk ideologi,aturan,norma,dan sekaligus tatanan yang menunjukan bagaimana manusia sebagai hamba melakukan interaksi transedental.
John L Holland, seorang praktisi yang mempelajari hubungan antara kepribadian dan minat pekerjaan, mengemukakan bahwa ada enam tipe atau orientasi kepribadian pada manusia.
1. Tipe realistik .
Menyukai pekerjaan yang sifatnya konkret, yang melibatkan kegiatan sistematis, seperti mengoperasikan mesin, peralatan. Tipe seperti ini tidak hanya membutuhkan keterampilan, komunikasi, atau hubungan dengan orang lain, tetapi dia memiliki fisik yang kuat. Bidang karier yang cocok, yaitu perburuhan, pertanian, barber shop, dan konstruski.
2. Tipe intelektual/investigative .
Menyukai hal-hal yang teoritis dan konseptual, cenderung pemikir daripada pelaku tindakan, senang menganalis, dan memahami sesuatu. Biasanya menghindari hubungan sosial yang akrab. Tipe ini cocok bekerja di laboratorium penelitian, seperti peneliti, ilmuwan, ahli matematika.
3.Tipe sosial.
Senang membantu atau bekerja dengan orang lain. Dia menyenangi kegiatan yang melibatkan kemampuan berkomunikasi dan ketrampilan berhubungan dengan orang lain, tetapi umumnya kurang dalam kemampuan mekanikal dan sains. Pekerjaan yang sesuai, yaitu guru/pengajar, konselor, pekerja sosial, guide, dan bartender.
4. Tipe konvensional.
Menyukai pekerjaan yang terstruktur atau jelas urutannya, mengolah data dengan aturan tertentu. Pekerjaan yang sesuai, yaitu sekretaris, teller, filing, serta akuntan.
5. Tipe usaha/enterprising.
Cenderung mempunyai kemampuan verbal atau komunikasi yang baik dan menggunakannya untuk memimpin orang lain, mengatur, mengarahkan, dan mempromosikan produk atau gagasan. Tipe ini sesuai bekerja sebagai sales, politikus, manajer, pengacara atau agensi iklan.
6. Tipe artistik .
Cenderung ingin mengekspresikan dirinya, tidak menyukai struktur atau aturan, lebih menyukai tugas-tugas yang memungkinkan dia mengekspresikan diri. Karier yang sesuai, yaitu sebagai musisi, seniman, dekorator, penari, dan penulis.
Perawat secara empiris cenderung didasarkan pada kepribadian tipe sosial, hal ini terutama dipengaruhi tokoh keperawatan dunia sejak zamannya Florence Nightingale. Tidak seperti perawat Indonesia, Florence tidak mengalami mahalnya tarip dasar listrik, tingginya harga BBM tanpa subsidi, mahalnya pendidikan anak berkualitas, ia juga tidak berdesakan dalam bis kota sebelum berangkat tugas. Florence betul-betul altruism yang berorientasi sosial dan kemanusiaan belaka, karena mobil pribadi dan istana ayahnya di Inggris yang mewah cukup untuk menghidupi ia sampai generasi ke tujuh. Doktrin keperawatan bahwa kita harus bersipat Altruism semata (hanya berorinetasi kemanusiaan) terus-menerus diajarkan di Akper dan STIKes, karena Florence dianggap contoh tuladan dalam sejarah Keperawatan, hal ini telah menyebabkan banyaknya perawat kurang cerdas secra finansial dan kurang dihargai. Jika kita hanya mengejar kepentingan dunia,mungkin hal ini akan menyebabkan merosotnya semangat bekerja kita.Dampak lebih jauhnya,mungkin kita tidak akan memberikan pelayanan yang sesuai dengan standar lagi.
Cara terbaik untuk mengatasinya, menurut Jansen, dengan langsung membenahi pangkal masalahnya, yaitu motivasi kerja. Itulah akar yang membentuk etos kerja. Secara sistematis, Jansen memetakan motivasi kerja dalam konsep yang ia sebut sebagai "Delapan Etos Kerja
Profesional". Sejak 1999, ia aktif mengampanyekan gagasan itu lewat berbagai pelatihan yang ia lakukan.
Etos pertama: kerja adalah rahmat.
Bakat dan kecerdasan yang memungkinkan kita bekerja adalah anugerah. Dengan bekerja, setiap tanggal muda kita menerima gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan bekerja kita punya banyak teman dan kenalan, punya kesempatan untuk menambah ilmu dan wawasan, dan masih banyak lagi. Semua itu anugerah yang patut disyukuri. Sungguh kelewatan jika kita merespons semua nikmat itu dengan bekerja ogah- ogahan.
Etos kedua: kerja adalah amanah.
Apa pun pekerjaan kita, pramuniaga, pegawai negeri, atau anggota DPR, semua adalah amanah. Pramuniaga mendapatkan amanah dari pemilik toko. Pegawai negeri menerima amanah dari negara. Anggota DPR menerima amanah dari rakyat. Etos ini membuat kita bisa bekerja sepenuh hati dan menjauhi tindakan tercela, misalnya korupsi dalam berbagai bentuknya.
Etos ketiga: kerja adalah panggilan.
Apa pun profesi kita, perawat, guru, penulis, semua adalah darma. Seperti darma Yudistira untuk membela kaum Pandawa. Seorang perawat memanggul darma untuk membantu orang sakit. Seorang guru memikul darma untuk menyebarkan ilmu kepada para muridnya. Seorang penulis menyandang darma untuk menyebarkan informasi tentang kebenaran kepada masyarakat. Jika pekerjaan atau profesi disadari sebagai panggilan, kita bisa berucap pada diri sendiri, "I'm doing my best!" Dengan begitu kita tidak akan merasa puas jika hasil karya kita kurang baik mutunya.
Etos keempat: kerja adalah aktualisasi.
Apa pun pekerjaan kita, entah dokter, akuntan, ahli hukum, semuanya bentuk aktualisasi diri. Meski kadang membuat kita lelah, bekerja tetap merupakan cara terbaik untuk mengembangkan potensi diri dan membuat kita merasa "ada". Bagaimanapun sibuk bekerja jauh lebih menyenangkan daripada duduk bengong tanpa pekenjaan.
Secara alami, aktualisasi diri itu bagian dari kebutuhan psikososial manusia. Dengan bekerja, misalnya, seseorang bisa berjabat tangan dengan rasa pede ketika berjumpa koleganya. "Perkenalkan, nama saya Miftah, dari Bank Kemilau." Keren `kan?
Etos kelima: kerja itu ibadah.
Tak peduli apa pun agama atau kepercayaan kita, semua pekerjaan yang halal merupakan ibadah. Kesadaran ini pada gilirannya akan membuat kita bisa bekerja secara ikhlas, bukan demi mencari uang atau jabatan semata. Jansen mengutip sebuah kisah zaman Yunani kuno seperti ini:
Seorang pemahat tiang menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mengukir sebuah puncak tiang yang tinggi. Saking tingginya, ukiran itu tak dapat dilihat langsung oleh orang yang berdiri di samping tiang. Orang-orang pun bertanya, buat apa bersusah payah membuat ukiran indah d tempat yang tak terlihat? Ia menjawab, "Manusia memang tak bisa menikmatmnya. Tapi Tuhan bisa melihatnya." Motivasi kerjanya telah berubah menjadi motivasi transendental. Warisan tak ternilai
Etos keenam: kerja adalah seni.
Apa pun pekerjaan kita, bahkan seorang peneliti pun, semua adalah seni. Kesadaran ini akan membuat kita bekerja dengan enjoy seperti halnya melakukan hobi. Jansen mencontohkan Edward V Appleton, seorang fisikawan peraih nobel. Dia mengaku, rahasia keberhasilannya meraih penghargaan sains paling begengsi itu adalah karena dia bisa menikmati pekerjaannya.
"Antusiasmelah yang membuat saya mampu bekerja berbulan-bulan di laboratorium yang sepi, katanya. Jadi, sekali lagi, semua kerja adalah seni. Bahkan ilmuwan seserius Einstein pun menyebut rumus-rumus fisika yang njelimet itu dengan kata sifat beautiful.
Etos ketujuh: kerja adalah kehormatan.
Seremeh apa pun pekerjaan kita, itu adalah sebuah kehormatan. Jika bisa menjaga kehormatan dengan baik, maka kehormatan lain yang lebih besar akan datang kepada kita.
Jansen mengambil contoh etos kerja Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan Indonesia kawakan ini tetap bekerja (menulis), meskipun ia dikucilkan di Pulau Buru yang serba terbatas. Baginya, menulis merupakan sebuah kehormatan. Hasilnya, kita sudah mafhum. Semua novelnya menjadi karya sastra kelas dunia.
Etos kedelapan: kerja adalah pelayanan.
Apa pun pekerjaan kita, pedagang, polisi, bahkan penjaga mercu suar, semuanya bisa dimaknai sebagai pengabdian kepada sesama.
Pada pertengahan abad ke-20 di Prancis, hidup seorang lelaki tua sebatang kara karena ditinggal mati oleh istri dan anaknya. Bagi kebanyakan orang, kehidupan seperti yang ia alami mungkin hanya berarti menunggu kematian. Namun bagi dia, tidak. Ia pergi ke lembah Cavennen, sebuah daerah yang sepi. Sambil menggembalakan domba, ia memunguti biji oak, lalu menanamnya di sepanjang lembah itu. Tak ada yang membayarnya. Tak ada yang memujinya. Ketika meninggal dalam usia 89 tahun, ia telah meninggalkan sebuah warisan luar biasa, hutan sepanjang 11 km! Sungai-sungai mengalir lagi. Tanah yang semula tandus menjadi subur. Semu itu dinikmati oleh orang yang sama sekali tidak ia kenal.
Di Indonesia semangat kerja serupa bisa kita jumpai pada Mak Eroh yang membelah bukit untuk mengalirkan air ke sawah-sawah di desanya di Tasikmalaya, Jawa Barat. Juga pada diri almarhum Munir, aktivis Kontras yang giat membela kepentingan orang-orang yang teraniaya.
"Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan dilengkapi keinginan untuk berbuat baik," kata Jansen. Dalam bukunya Ethos21, ia menyebut dengan istilah rahmatan lii alamin (rahmat bagi sesama).
Pilih cinta atau kecewa
Menurut Jansen, kedelapan etos kerja yang ia gagas itu bersumber pada kecerdasan emosional spiritual. Ia menjamin, semua konsep etos itu bisa diterapkan di semua pekerjaan.
"Asalkan pekerjaan yang halal," katanya. "Umumnya, orang bekerja itu `kan hanya untuk nyari gaji. Padahal pekerjaan itu punya banyak sisi," katanya.
Dengan menerapkan kedelapan etos kerja diatas,maka kita sudah mulai menerapkan cirri seorang perawat yang transcendental. Selain dengan menerapkan kedelapan etos kerja diatas,cirri seorang perawat transcendental ialah perawat yang selalu ingat akan mati. Kerja bukan hanya untuk mencari makan, tetapi juga mencari makna.Rata-rata kita menghabiskan waktu 30 - 40 tahun untuk bekerja. Setelah itu pensiun, lalu manula, dan pulang ke haribaan Tuhan. "Manusia itu makhluk pencari makna. Kita harus berpikir, selama apapun kita bekerja,ujung – ujungnya pasti akan kembali pada sang pencipta kita. Betapa hebatnya kita di dunia,tidak akan ada pengaruhnya kelak kita menjalani kehidupan yang sesungguhnya di akhira nanti. Untuk itu,kita harus menyeimbangkan kebutuhan dunia kita dengan kebutuhan akhirat. Kita harus selalu ingat bahwa kehidupan kita sekarang hanya sementara.
Selain itu,dengan mengingat mati,kita akan selalu termotivasi untuk selalu meningkatkan ketaqwaan kita.kita akan selalu melakukan amalan – amalan yang diperintahkan,dan menjauhi
amalan – amalan yang dilarang.Niscaya hidup ini akan terasa indah dan bermakna.
Langganan:
Postingan (Atom)