DOSEN FIK UNPAD

DOSEN FIK UNPAD

I Love Mom......

No Comment - Post a comment

Bunda

suara siapa yang mampu meledakkan debar ?
bertanya pada ragu, digugu, dan ditiru
ibu, ibu, dengar selubung keingintahuanku
aku bagai merpati tanpa kepak bergetar

tawa siapa yang menggugah kehangatan,?
menjelma pada rasa , diraih dan dipuja
ibu, ibu. lihat gaya penampilan kelincahanku
aku bagai kepak kupu tanpa sayap

bolehkah aku bersandar di kukuh bahumu, ibu ?
dan ku seru bukan hanya sekedar guru
karena kepak sayapku meniru bahasamu
dan ku seru maukah kau menjadi
bundaku ?





Narasi Buat Seorang Ibu

katakanlah ibu !!
tanpa sedikit ragu !!
walau serdadu jahitan dibibirmu !!
memagar derita seribu !!



Bundaku

bundaku, tak inginku menutup hatiku,
tak inginkan tersembunyi sesuatu apapun
pedih hati jauh darimu
apa daya, tak kau mengerti jua

bundaku, dengarlah jerit tangisku
resapi desah nafasku
buang jauh isak tangisku
apa daya, tak kau rasa jua

bundaku, sinariku cahayamu
rengkuh aku dengan peluk hangatmu
tatap aku dengan bias rona matamu
apa daya, kini kau telah tiada

 

Our Slide Show..........

No Comment - Post a comment

 


Transedental berasal dari kata transenden,yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti di luar segala kesanggupan manusia;luar biasa;utama.
sedangkan Faham transedental ialah faham atau pengertian – pengertian yang merupakan syarat suatu fakta kesadaran moral manusia.
dan transendental yang akan kita bahas dalam makalah ini ialah agama sebagai penunjuk ideologi,aturan,norma,dan sekaligus tatanan yang menunjukan bagaimana manusia sebagai hamba melakukan interaksi transedental.



John L Holland, seorang praktisi yang mempelajari hubungan antara kepribadian dan minat pekerjaan, mengemukakan bahwa ada enam tipe atau orientasi kepribadian pada manusia.


1. Tipe realistik .
Menyukai pekerjaan yang sifatnya konkret, yang melibatkan kegiatan sistematis, seperti mengoperasikan mesin, peralatan. Tipe seperti ini tidak hanya membutuhkan keterampilan, komunikasi, atau hubungan dengan orang lain, tetapi dia memiliki fisik yang kuat. Bidang karier yang cocok, yaitu perburuhan, pertanian, barber shop, dan konstruski.


2. Tipe intelektual/investigative .
Menyukai hal-hal yang teoritis dan konseptual, cenderung pemikir daripada pelaku tindakan, senang menganalis, dan memahami sesuatu. Biasanya menghindari hubungan sosial yang akrab. Tipe ini cocok bekerja di laboratorium penelitian, seperti peneliti, ilmuwan, ahli matematika.


3.Tipe sosial.
Senang membantu atau bekerja dengan orang lain. Dia menyenangi kegiatan yang melibatkan kemampuan berkomunikasi dan ketrampilan berhubungan dengan orang lain, tetapi umumnya kurang dalam kemampuan mekanikal dan sains. Pekerjaan yang sesuai, yaitu guru/pengajar, konselor, pekerja sosial, guide, dan bartender.


4. Tipe konvensional.
Menyukai pekerjaan yang terstruktur atau jelas urutannya, mengolah data dengan aturan tertentu. Pekerjaan yang sesuai, yaitu sekretaris, teller, filing, serta akuntan.


5. Tipe usaha/enterprising.
Cenderung mempunyai kemampuan verbal atau komunikasi yang baik dan menggunakannya untuk memimpin orang lain, mengatur, mengarahkan, dan mempromosikan produk atau gagasan. Tipe ini sesuai bekerja sebagai sales, politikus, manajer, pengacara atau agensi iklan.


6. Tipe artistik .
Cenderung ingin mengekspresikan dirinya, tidak menyukai struktur atau aturan, lebih menyukai tugas-tugas yang memungkinkan dia mengekspresikan diri. Karier yang sesuai, yaitu sebagai musisi, seniman, dekorator, penari, dan penulis.


Perawat secara empiris cenderung didasarkan pada kepribadian tipe sosial, hal ini terutama dipengaruhi tokoh keperawatan dunia sejak zamannya Florence Nightingale. Tidak seperti perawat Indonesia, Florence tidak mengalami mahalnya tarip dasar listrik, tingginya harga BBM tanpa subsidi, mahalnya pendidikan anak berkualitas, ia juga tidak berdesakan dalam bis kota sebelum berangkat tugas. Florence betul-betul altruism yang berorientasi sosial dan kemanusiaan belaka, karena mobil pribadi dan istana ayahnya di Inggris yang mewah cukup untuk menghidupi ia sampai generasi ke tujuh. Doktrin keperawatan bahwa kita harus bersipat Altruism semata (hanya berorinetasi kemanusiaan) terus-menerus diajarkan di Akper dan STIKes, karena Florence dianggap contoh tuladan dalam sejarah Keperawatan, hal ini telah menyebabkan banyaknya perawat kurang cerdas secra finansial dan kurang dihargai. Jika kita hanya mengejar kepentingan dunia,mungkin hal ini akan menyebabkan merosotnya semangat bekerja kita.Dampak lebih jauhnya,mungkin kita tidak akan memberikan pelayanan yang sesuai dengan standar lagi.

Cara terbaik untuk mengatasinya, menurut Jansen, dengan langsung membenahi pangkal masalahnya, yaitu motivasi kerja. Itulah akar yang membentuk etos kerja. Secara sistematis, Jansen memetakan motivasi kerja dalam konsep yang ia sebut sebagai "Delapan Etos Kerja
Profesional". Sejak 1999, ia aktif mengampanyekan gagasan itu lewat berbagai pelatihan yang ia lakukan.


Etos pertama: kerja adalah rahmat.

Apa pun pekerjaan kita, entah pengusaha, pegawai kantor, sampai buruh kasar sekalipun, adalah rahmat dari Tuhan. Anugerah itu kita terima tanpa syarat, seperti halnya menghirup oksigen dan udara tanpa biaya sepeser pun.

Bakat dan kecerdasan yang memungkinkan kita bekerja adalah anugerah. Dengan bekerja, setiap tanggal muda kita menerima gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan bekerja kita punya banyak teman dan kenalan, punya kesempatan untuk menambah ilmu dan wawasan, dan masih banyak lagi. Semua itu anugerah yang patut disyukuri. Sungguh kelewatan jika kita merespons semua nikmat itu dengan bekerja ogah- ogahan.


Etos kedua: kerja adalah amanah.

Apa pun pekerjaan kita, pramuniaga, pegawai negeri, atau anggota DPR, semua adalah amanah. Pramuniaga mendapatkan amanah dari pemilik toko. Pegawai negeri menerima amanah dari negara. Anggota DPR menerima amanah dari rakyat. Etos ini membuat kita bisa bekerja sepenuh hati dan menjauhi tindakan tercela, misalnya korupsi dalam berbagai bentuknya.


Etos ketiga: kerja adalah panggilan.

Apa pun profesi kita, perawat, guru, penulis, semua adalah darma. Seperti darma Yudistira untuk membela kaum Pandawa. Seorang perawat memanggul darma untuk membantu orang sakit. Seorang guru memikul darma untuk menyebarkan ilmu kepada para muridnya. Seorang penulis menyandang darma untuk menyebarkan informasi tentang kebenaran kepada masyarakat. Jika pekerjaan atau profesi disadari sebagai panggilan, kita bisa berucap pada diri sendiri, "I'm doing my best!" Dengan begitu kita tidak akan merasa puas jika hasil karya kita kurang baik mutunya.


Etos keempat: kerja adalah aktualisasi.

Apa pun pekerjaan kita, entah dokter, akuntan, ahli hukum, semuanya bentuk aktualisasi diri. Meski kadang membuat kita lelah, bekerja tetap merupakan cara terbaik untuk mengembangkan potensi diri dan membuat kita merasa "ada". Bagaimanapun sibuk bekerja jauh lebih menyenangkan daripada duduk bengong tanpa pekenjaan.

Secara alami, aktualisasi diri itu bagian dari kebutuhan psikososial manusia. Dengan bekerja, misalnya, seseorang bisa berjabat tangan dengan rasa pede ketika berjumpa koleganya. "Perkenalkan, nama saya Miftah, dari Bank Kemilau." Keren `kan?


Etos kelima: kerja itu ibadah.

Tak peduli apa pun agama atau kepercayaan kita, semua pekerjaan yang halal merupakan ibadah. Kesadaran ini pada gilirannya akan membuat kita bisa bekerja secara ikhlas, bukan demi mencari uang atau jabatan semata. Jansen mengutip sebuah kisah zaman Yunani kuno seperti ini:

Seorang pemahat tiang menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mengukir sebuah puncak tiang yang tinggi. Saking tingginya, ukiran itu tak dapat dilihat langsung oleh orang yang berdiri di samping tiang. Orang-orang pun bertanya, buat apa bersusah payah membuat ukiran indah d tempat yang tak terlihat? Ia menjawab, "Manusia memang tak bisa menikmatmnya. Tapi Tuhan bisa melihatnya." Motivasi kerjanya telah berubah menjadi motivasi transendental. Warisan tak ternilai


Etos keenam: kerja adalah seni.

Apa pun pekerjaan kita, bahkan seorang peneliti pun, semua adalah seni. Kesadaran ini akan membuat kita bekerja dengan enjoy seperti halnya melakukan hobi. Jansen mencontohkan Edward V Appleton, seorang fisikawan peraih nobel. Dia mengaku, rahasia keberhasilannya meraih penghargaan sains paling begengsi itu adalah karena dia bisa menikmati pekerjaannya.

"Antusiasmelah yang membuat saya mampu bekerja berbulan-bulan di laboratorium yang sepi, katanya. Jadi, sekali lagi, semua kerja adalah seni. Bahkan ilmuwan seserius Einstein pun menyebut rumus-rumus fisika yang njelimet itu dengan kata sifat beautiful.


Etos ketujuh: kerja adalah kehormatan.

Seremeh apa pun pekerjaan kita, itu adalah sebuah kehormatan. Jika bisa menjaga kehormatan dengan baik, maka kehormatan lain yang lebih besar akan datang kepada kita.

Jansen mengambil contoh etos kerja Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan Indonesia kawakan ini tetap bekerja (menulis), meskipun ia dikucilkan di Pulau Buru yang serba terbatas. Baginya, menulis merupakan sebuah kehormatan. Hasilnya, kita sudah mafhum. Semua novelnya menjadi karya sastra kelas dunia.


Etos kedelapan: kerja adalah pelayanan.

Apa pun pekerjaan kita, pedagang, polisi, bahkan penjaga mercu suar, semuanya bisa dimaknai sebagai pengabdian kepada sesama.

Pada pertengahan abad ke-20 di Prancis, hidup seorang lelaki tua sebatang kara karena ditinggal mati oleh istri dan anaknya. Bagi kebanyakan orang, kehidupan seperti yang ia alami mungkin hanya berarti menunggu kematian. Namun bagi dia, tidak. Ia pergi ke lembah Cavennen, sebuah daerah yang sepi. Sambil menggembalakan domba, ia memunguti biji oak, lalu menanamnya di sepanjang lembah itu. Tak ada yang membayarnya. Tak ada yang memujinya. Ketika meninggal dalam usia 89 tahun, ia telah meninggalkan sebuah warisan luar biasa, hutan sepanjang 11 km! Sungai-sungai mengalir lagi. Tanah yang semula tandus menjadi subur. Semu itu dinikmati oleh orang yang sama sekali tidak ia kenal.

Di Indonesia semangat kerja serupa bisa kita jumpai pada Mak Eroh yang membelah bukit untuk mengalirkan air ke sawah-sawah di desanya di Tasikmalaya, Jawa Barat. Juga pada diri almarhum Munir, aktivis Kontras yang giat membela kepentingan orang-orang yang teraniaya.

"Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan dilengkapi keinginan untuk berbuat baik," kata Jansen. Dalam bukunya Ethos21, ia menyebut dengan istilah rahmatan lii alamin (rahmat bagi sesama).

Pilih cinta atau kecewa

Menurut Jansen, kedelapan etos kerja yang ia gagas itu bersumber pada kecerdasan emosional spiritual. Ia menjamin, semua konsep etos itu bisa diterapkan di semua pekerjaan.
"Asalkan pekerjaan yang halal," katanya. "Umumnya, orang bekerja itu `kan hanya untuk nyari gaji. Padahal pekerjaan itu punya banyak sisi," katanya.

Dengan menerapkan kedelapan etos kerja diatas,maka kita sudah mulai menerapkan cirri seorang perawat yang transcendental. Selain dengan menerapkan kedelapan etos kerja diatas,cirri seorang perawat transcendental ialah perawat yang selalu ingat akan mati. Kerja bukan hanya untuk mencari makan, tetapi juga mencari makna.Rata-rata kita menghabiskan waktu 30 - 40 tahun untuk bekerja. Setelah itu pensiun, lalu manula, dan pulang ke haribaan Tuhan. "Manusia itu makhluk pencari makna. Kita harus berpikir, selama apapun kita bekerja,ujung – ujungnya pasti akan kembali pada sang pencipta kita. Betapa hebatnya kita di dunia,tidak akan ada pengaruhnya kelak kita menjalani kehidupan yang sesungguhnya di akhira nanti. Untuk itu,kita harus menyeimbangkan kebutuhan dunia kita dengan kebutuhan akhirat. Kita harus selalu ingat bahwa kehidupan kita sekarang hanya sementara.

Selain itu,dengan mengingat mati,kita akan selalu termotivasi untuk selalu meningkatkan ketaqwaan kita.kita akan selalu melakukan amalan – amalan yang diperintahkan,dan menjauhi
amalan – amalan yang dilarang.Niscaya hidup ini akan terasa indah dan bermakna.

 



“Hingga kini masih banyak perawat yang memuja kecerdasan intelektual yang mengandalkan kemampuan berlogika semata. Perawat merasa bangga dan berhasil mendidik anak bila melihat anak-anaknya menpunyai nilai rapor yang bagus dan menjadi juara kelas. Tentu saja hal ini tidak salah, tetapi tidak juga benar seratus persen. Karena beberapa penelitian justru menunjukan bahwa kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spirituallah yang lebih berpengaruh bagi kesuksesan seorang anak”.

PERAWAT MEMASUKI ERA MULTIPLE INTELLEGENCY

Menurut Dr. Howard Garder, peneliti dari Harvard yang mencetuskan teori Multiple Intelligence, terdapat sembilan jenis kecerdasan yang meliputi:

  1. Cerdas bahasa: cerdas dalam mengolah kata
  2. Cerdas gambar: memiliki imajinasi tinggi
  3. Cerdas musik: peka terhadap suara dan irama
  4. Cerdas tubuh: terampil dalam mengolah tubuh dan gerak
  5. Cerdas matematika dan logika: cerdas dalam sains dan berhitung
  6. Cerdas sosial: kemampuan tinggi dalam membaca pikiran dan perasaan orang lain
  7. Cerdas diri: menyadari kekuatan dan kelemahan diri
  8. Cerdas alam: peka terhadap alam sekitar
  9. Cerdas spiritual: menyadari makna eksistensi diri dalam hubungannya dengan pencipta alam semesta


Kecerdasan emosi terdiri dari kecakapan, diantaranya: intrapersonal intelligence dan interpersonal intelligence. Intrapersonal intelligence merupakan kecakapan mengenali perasaan kita sendiri yang terdiri dari: kesadaran diri (keadaan emosi diri, penilaian pribadi, dan percaya diri); pengaturan diri (pengendalian diri, dapat dipercaya, waspada adaptif dan inovatif); motivasi (dorongan berprestasi, komitmen, inisiatif dan optimis). Sedangkan interpersonal intelligence merupakan kecakapan berhubungan dengan orang lain yang terdiri dari: empati (memahami orang lain, pelayanan, mengembangkan orang lain, mengatasi keragaman dan kesadaran politis); keterampilan social (pengaruh, komunikasi, kepemimpinan, katalisator, perubahan, manajemen konflik, pengikat jaringan, kolaborasi dan koperasi serta kerja team).


Studi terhadap orang-orang yang sangat sukses menunjukan bahwa mereka juga memiliki ciri-ciri lain yang menonjol. Pertama, mereka mempunyai mimpi yang besar, tujuan yang jelas, dan teguh memegang mimpinya tersebut. Kedua, mereka tidak bekerja sendiria, mereka mampu memaafkan kekuatan yang ada di dalam dirinya maupun di sekeliling dirinya. Jadi, mereka mengembangkan dua kecerdasan lainnya sebagai pelengkap dari IQ-EQ-SQ. mereka mengembangkan kecerdasan yang disebut Kecerdasan Aspirasi (Aspiration Intelligence) dan Kecerdasan Kekuatan (Power Intelligence). Ternyata para oraang yang sukses mengembangkan lima kecerdasan dengan seimbang. Kelima kecerdasan ini kita sebut Kecerdasan SEPIA (Spiritual – Emotional – Power – intellectual – Aspiration).


Agar sukses dan bahagia, perawat memerlukan pengembangan kelima kecerdasannya. Sukses disini dalam arti yang luas, menyangkut financial, bisnis, karir, keluarga, kesehatan, pengembangan diri, kebahagiaan, dan semua tujuan yang berharga bagi manusia. Kelima kecerdasan ini merupakan refleksi dari karakter dan kompetensi. Kecerdasan aspirasi, spiritual, dan emosional mewakili karakter. Sedangkan kecerdasan intelektual dan pengelolaan kekuatan mewakili kompetensi.

APAKAH EMOTIONAL INTELLIGENCE ITU?

Kecerdasan emosional yaitu kemampuan mengenali emosi diri, kemampuan mengelola emosi, kemampuan memotivasi diri, kemampuan mengenali emosi orang lain dan kemampuan membin hubungan.

Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan haati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana haati dan menjaga agar beban stess tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin.

Kemampuan seorang perawat untuk bisa menghargai dirinya sendiri maupun diri orang lain, memahami perasaan terdalam oraang-orang di sekelilingnya, mengikuti aturan-turan yang berlaku. Semua ini termasuk kunci keberhasilan bagi seorang perawat di masa depan.

EQ yang tinggi akan membantu seorang perawat dalam membangun relasi sosial dalam lingkungan keluarga, kantor, bisnis, maupun sosial. Bagi seorang perawat, kecerdasan emosional merupakan syarat mtlak. Lagi-lagi amat disayangkan, pendidikan kitaa miskin konsep dalam membantu mengembagkan EQ, bagi siswa maupun mahasiswa. Pelatihan EQ ini amat penting guna menumbuhkan iklim dialogis, demokratis, dan partisipatif karena semua menuntut adanya kedewasaan emosional dalam memahami dan menerima perbedaan. Pluralitas etnis, agama, dan budaya dialogis dan sikap empati.

BAGAIMANA CIRI PERAWAT YANG MEMILIKI EMOTIONAL INTELLIGENCE

Seorang perawat yang mempunyai kecerdasan emotional yang baik akan dapat dikenali melalui lima komponen dasar, yaitu:

  1. self-awarenes (pengendalian diri)

mampu mengenali emosi dan penyebab dari pemicu emosi tersebut. Jadi, dia mampu mengevaluasi dirinya sendiri dan mendapatkan informasi untuk melakukan suatu tindakan.

  1. self-regulation (penguasaan diri)

seseorang yang mempunyai pengendalian diri yang baik dapat lebih terkontrol dalam membuat tindakan agar lebih berhati0hati. Dia juga akan berusaha untuk tidak impulsive. Akan tetapi, perlu diingat, hal ini bukan berarti bahwa orang tersebut menyembunyikan emosinya melainkan memilih untuk tidak diatur oleh emosinya.

  1. self-motivation (motivasi diri)

ketika sesuatu berjalan tidak sesuai dengan rencana, seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional tinggi tidaak akan bertanya “apa yang salah dengan saaya atau kita?”. Sebaliknya ia bertanya “apa yang dapat kita lakukan agar kita dapaat memperbaiki masalah ini?”.

  1. empathy (empati)

kemampuan untuk mengenali perasaan orang lain dan merasakan apaa yang orang lain rasakan jika dirinya sendiri yang berada pada posisi tersebut.

  1. effective relationship (hubungan yang efektif)

dengaan adanya empat kemampuan tersebut, seseorang dapat berkomunikasi dengan orang lain secara efektif. Kemampuan untuk memecahkan masalah bersama-sama lebih diteknkan dan bukan pad konfrontasi yng tidak penting yang sebenarnya daapat dihindari. Orang yang mempunyai tujuan yang konstruktif daalam pikirannya.

Seorang perawat yang tidak mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi dpaat ditandai dengn hal-hal berikut: mempunyai emosi yang tinggi, cepat bertindak berdasarkan emosinya, dan tidak sensitive dengan perasaan orang lain. Orng yang tidak mempunyai kecerdasan emosional tinggi, biasanya mempunyai kecenderungan untuk menyakiti dan memusuhi orng lain. Dalam dunia kerja, orang-orang yng mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi sangat diperlukan, terlebih dalam tim untuk mencapai tujuan tertentu. Karenanya, orng tua dn para guru harus memupuk kecerdasan emosional sejak dini.

Para perawat dalam pekerjaan sehari-hari hamper selalu melibatkan perasaan dan emosi, sehingga setiap memberikan perawatan dituntut untuk memiliki kecerdasan emosi yang tinggi. Secara khusus, para perawat home care membutuhkan kecerdasan emosi yang tinggi karena mereka mewakili organisaasi, berinteraksi dengan banyak orang, baik di dalam mupun di luar organisasi dan berperan penting dlam memahami kebutuhan orang tau keluarga yang dirawatnya dan dapat memberikan solusi atau feedback yng konstruktif.

Kunci keberhasilan hidup lebih banyak ditentukan oleh kecerdasan emotional, yaitu aspek-aspek yang berkaitan dengan kepribadian, yang di dalamnya setidaknya ada empat cirri pokok. Pertama, kemampuan seseorang memahami dan memotivasi potensi dirinya. Kedua, memiliki rasa empati yang tinggi terhadap orang lain. Ketiga, senang mendorong meliht nk buh sukses, tanpa dirinya merasa terancam. Keempat, agresif, yaitu terampil menyampaaikan pikiran dan perasaan dengan baik, lugas, dan jelas tanpa harus membuat orang lian tersinggung.

Perawat dengan kemampuan emotional cenderung mempunyai banyak teman, pandai bergaul. Melalui belajar kelompok dituntut untuk bekerjasama, megerti orang lain. Perawat merupakan pribadi sosial yang memerlukan relasi dan komunikasi dengan orang lain untuk memanusiakan dirinya. Perawat ingin dicintai, ingin diakui, dan dihargai. Berkeinginan pula untuk dihitung dan mendaapatkan tempat dalam kelompoknya. Jelas bahwa individualitas dan sosialitas merupakan unsure-unsur yang komplementer, saling mengisi dan melengkapi dalam eksistensi perawat.



APA YANG DIMAKSUD KECERDASAN SPIRITUAL (SPIRITUAL QUOTION)

Kecerdasan spiritual ialah suatu kecerdasan dimana kita berusaha menempatkan tindakan-tindakan dan kehidupan kita ke dalam suatu konteks yang lebih luas dan lebih kaya, serta lebih bermakna. Kecerdasan spiritual merupakan dasar yang perlu untuk mendorong berfungsinya secara efektif, baik Intelligence Quotient (IQ) maupun Emotional Intelligence (EI). Jadi, kecerdasan spiritual berkaitan dengan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional.

Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan manusia dalam memberi makna. Perawat yang memiliki taraf kecerdasan spiritual tinggi mampu menjadi lebih bahagia dan menjalani hidup dibandingkan mereka yang taraf kecerdasan spiritualnya rendah. Dalam kondisi yang sangat buruk dan tidak diharapkan, kecerdasan spiritual mampu menuntun manusia untuk menemukan makna.

Akhirnya melalui kecerdasan spiritual manusia mampu menciptakan makna untuk tujuan-tujuannya. Hasil dari kecerdasan aspirasi yang berupa cita-cita diberi makna oleh kecerdasan spiritual. Melalui kecerdasan spiritual pula manusia mampu tetap bahagia dalam perjalanan menuju teraihnya cita-cita. Kunci bahagia adalah kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual (SQ) berkait dengan masalah makna, motivasi, dan tujuan hidup sendiri. Jika IQ berperan memberi solusi intelektual-teknikal, EQ merekatkan jalan membangun relasi social, SQ mempertanyakan apakah makna, tujuan, dan filsafat hidup seseorang.

APA CIRI ORANG YANG MEMILIKI SPIRITUAL INTELLEGENCY ?

Lima karakteristik orang yang cerdas secara spiritual menurut Roberts A. Emmons, The Psychology of Ultimate Concerns: (1) kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan mental; (2) kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak; (3) kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari; (4) kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual buat menyelesaikan masalah; dan (5) kemampuan untuk berbuat baik.

Dua karakteristik yang pertama sering disebut sebagai komponen inti kecerdasan spiritual. Perawat yang merasakan kehadiran Tuhan atau makhluk ruhaniyah di sekitarnya mengalami transendensi fisikal dan mental. Ia memasuki dunia spiritual. Ia mencapai kesadaran kosmis yang menggabungkan dia dengan seluruh alam semest. Ia merasa bahwa alamnya tidak terbatas pada apa yang disaksikan personalnya dalam salat malamnya, mendoakan kesembuhan luka kliennya, memulai tindakan dengan bismillah, mengisi waktu luang dengan sholat dluha, silaturahmi dengan keluarga klien.

Ciri yang ketiga, terjadi ketika kita meletakkan pekerjaan biasa dalam tujuan yang agung. Perawat yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara rasional atau emosional saja. Ia menghubungkan dengan makna kehidupan secara spiritual. Ia merujuk pada warisan spiritual seperti teks-teks Kitab Suci atau wejangan orang-orang suci untuk memberikan penafsiran pada situasi yang dihadapinya, untuk melakukan definisi situasi. Pada saat ganti balutan ia mengingat bahwa jutaan mikroba sudah diciptakan Allah sebulum manusia mengetahui obatnya penicillin. Sebelum manusia lahir penicillinpun sudah diciptakan Allah. Jadi, tugas perawat adalah berupaya memaknai bahwa mencari karunia Allah dalam membantu meringankan beban klien.

Ketika seorang perawat diberitahu bahwa orang kantornya tidak akan sanggup menyekolahkannya, ia tidak putus asa. Ia yakin bahwa kalau oaring itu bersungguh-sungguh dan minta pertolongan kepada Tuhan, ia akan diberi jalan. Bukankah Tuhan berfirman: “orang-orang yang sungguh-sungguh di jalan Kami, Kami akan berikan kepadanya jalan-jalan Kami”?

Karakteristik yang kelima: perawatmemiliki rasa kasih yang tinggi pada sesame makhluk Tuhan. Memberi maaf, bersyukur atau mengungkapkan terima kasih, bersikap rendah hati menunjukan kasih saying dan kearifan, hanyalah sebagian dari kebajikan. Karakteristik terakhir ini mungkin disimpulkan dalam sabda nabi Muhammad saw: “amal paling utama ialah engkau masukkan rasa bahagia pada sesame manusia”>

BAGAIMANA MENINGKATKAN SQ KLIEN ATAU PERAWAT

Dengan pengertian di atas, berikut ini secara singkat kiat-kiat untuk mengembangkan SQ bagai perawat kita: (1) jadilah kita suri tauladan yang baik, (2) bantulah klien untuk merumuskan “missi” hidupnya, (3) baca Kitab Suci bersama-sama dan jelaskan maknanya dalam kehidupan kita, (4) ceritakan kisah-kisah agung dari tokoh-tokoh spiritual, (50 diskusikan berbagai persoalan dengan perspektif ruhaniah, (6) libatkan klien dalam kegiatan-kegiatan ritual keagamaan, (7) bacakan puisi-puisi atau lagu-lagu yang spiritual dan inspirasional, (8) ajak klien untuk menikmati keindahan alam, (9) bawa klien, keluarga atau anak ke tempat-tempat orang yang menderita, dan (10) ikut-sertakan anak dalam kegiatan-kegiatan social.

BAGAIMANA APLIKASI ESQ DALAM MANAJEMEN KONFLIK

Menurut Buchary A Rahman masalah pelayanan kepada klien dan cara perawat memenej konfliknya termasuk yang krusial yang mempengaruhi kemampuan perawat Indonesia masuk ke pasaran kerja Internasional. “contoh perawat Filipina, mereka merupakan perawat yang dicari di pasaran Internasional karena kemampuan melayani pasien dengan cara lebih memanusiakan pasien dengan kemampuan ESQ yang baik disamping karena factor kemampuan bahasa Inggris yang baik”. Sebab selain kecerdasan intelektual para perawat juga perlu memperhatikan kecerdasan emosional. “tak mudah putus asa, tak mudah marah, sabar, berbeda pendapat dengan santun, lebih mengacu pada santun, lebih mengacu pada solusi bukan pada konflik, merupakan contoh perawat yang mempunyai kecerdasan emosional”. Orang berobat ke Singapura atau ke Kucing bukan hanya karena tindakan medis di sana lebih baik, tetapi salah satu faktornya adalah karena sikap perawat di sana lebih familiar.

Menghadapi konflik-konflik yang muncul berbekal kemampuan ESQ seperti yang sudah dibahas sebelumnya dengan tahap sebagai berikut:

Seorang perawat yang mempunyai kecerdasan emosional yang baik akan dapat dikenali melalui lima komponen, yaitu sebagai berikut:

  1. pengenalan diri
  2. penguasaan diri
  3. motivasi diri
  4. empati
  5. hubungan yang efektif